Welcome to my blog >>> Cakrawala82

Teori Permintaan Uang Menurut Para Ahli





Dalam  melihat  peranan  uang  bagi perekonomian  sebenarnya  ada  beberapa pandangan  yang  berbeda  oleh para  ahli  ekonomi.  Golongan  Klasik berpendapat  bahwa apabila  telah  mencapai  full  employment uang  tidak berperan  dalam  perkembangan ekonomi  karena  pertambahan  uang  hanya akan  mengakibatkan  peningkatan  harga yang proporsional dengan pertambahan uang tersebut.  Golongan  Keynes  mengemukakan bahwa  pertambahan  uang  dalam  keadaan perkonomian  menghadapi  pengangguran yang  relatif  besar  dapat  menggalakkan  perekonomian.  Sedangkan golongan  moneteris lebih  yakin  akan  peranan  uang  dalam perkembangan  perekonomian,  disamping menyadari  adanya  kemungkinan  berlakunya kenaikan harga.

Ahli – ahli ekonomi sebelum Keynes, terutama ahli-ahli ekonomi klasik, menumpukan analisis mereka kepada efek dari perubahan-perubahan penawaran uang ke atas tingkat harga. Yang dibedakan dalam dua bentuk: yaitu teori kuantitas (quantity theory of money) dan teori sisa tunai (cash balance theory). (Sadono Sukirno, 296 : 2006)

a. Teori Klasik Tentang Permintaan Uang
Dalam Mulia Nasution (1998: 44) Teori permintaan uang (moneter) kaum klasik yang di keluarkan oleh Irving Fisher yakni dengan rumus :
                                            MV = PT
Dimana :
    M = Jumlah uang beredar
    V = Perputaran pada perekonomian dalam satu periode
    P = Tingkat harga barang
    T = Volume barang dan jasa yang di perdagangkan dalam satu periode
   
Pada persamaan di atas M di artikan dengan pengertian uang yang beredar, yaitu uang kertas, uang logam dan uang giral yang terdapat dalam perekonomian. V merupakan besarnya laju peredaran uang, ini di tentukan seringnya uang berpindah tangan dari seorang ke orang yang lain dalam masyarakat dalam satu tahun. dan T banyaknya barang dan jasa yang di perdagangkan dalam perekonomian pada satu periode.

Dalam Nopirin, (1997:114) Beberapa versi teori ini adalah; Dengan mengganti volume barang yang di perdagangkan (T) dengan output riil (O), sehingga formulasi teori kuantitas menjadi:
                                      MV= PO = Y
Dimana:
    Y = PO = GNP nominal
    V = Tingkatan perputaran pendapatan (Income velocity of money)

Dengan menggunakan anggapan bahwa ekonomi selalu dalam keadaan kesempatan kerja penuh/ full employment (atas dasar hukum say) maka besarnya T (dan juga dengan sendirinya O) tetap tidak berubah. Demikian juga V relatif tetap (V hanya berubah kalau terjadi perubahan kelembagaan, seperi misalnya kebiasaan melakukan pembayaran serta perubahan teknologi komunikasi. Konsekuensi dari kedua anggapan ini, maka M hanyalah mempengaruhi T, dan pengaruhnya proporsional. Artinya, kalau M naik dua kali maka T juga akan naik dengan dua kali.


b. Teori klasik tentang permintaan uang dari Marshall (Cambridge)
Beberapa tahun sebelum Irving Fisher mengembangkan teori kuantitas, seorang ahli ekonomi Inggris, Yaitu AlfredMarshall dari Cambridge, mengembangkan teori sisa tunai (cash balance theory). Teori ini jugamenerangkan sifat hubungan diantara penawaran uang dan tingkat harga. Teori sisa tunai mempunyai pandangan yang sama dengan teori kuantitas uang (quantity theory of money). Teori ini juga berpendapat bahwa perubahan dalam penawaran uang akan menimbulakan perubahan harga-harga yang sama tingkatnya. Teori sisa tunai diterangkan dalam persamaan berikut :
                                     M =kPT
Dimana M, P, dan T mempunyai arti yang sama dengan M,P, dan T dalam persamaan MV = PT. Dalam teori sisa tunai k adalah bagian dari pendapatan masyarakat yang tetap dipegang mereka dalam bentuk tunai. (Sadono Sukirno, 298: 2006)   

Secara  matematis  formulasi  Marshall sama dengan formulasi Irving Fisher, namun implikasinya  berbeda. Marshall  memandang bahwa individu atau masyarakat  selalu  menginginkan  sebagian  tertentu  dari pendapatannya  (Y)  dalam  bentuk  uang  tunai  (k).



c. Teori Kuantitas Modern Milton Friedman

Dalam pandangannya Friedman berusaha untuk kembali menghidupkan teori kuantitas uang yang di keluarkan oleh kaum klasik (Irving Fisher). Pernyataan Friedman tentang teori kuantitas adalah teori tentang permintaan uang bukan teori penentuan produk, pendapatan maupun harga. Menurutnya, uang adalah satu bentuk kekayaan seperti bentuk kekayaan lainya (obligasi, kepandaian, tanah).

Definisi kekayaan yang diberikan Friedman adalah seluruh kekayaan yang merupakan sumber pendapatan.  Maka tingkat suku bunga memperlihatkan hubungan jumlah kekayaan dengan aliran pendapatan.
Dalam Mulia Nasution 1998, Hubungan ini di formulasikan oleh Friedman dengan :

                                  W= Y/i
Dimana :
    W = Kekayaan
    Y = Aliran pendapatan (income flow)
    i = Tingkat bunga

Kepuasan pemilik kekayaan akan di pengaruhi harga bentuk kekayaan, tingkat pendapatan yang mungkin di peroleh. Dimana harga bentuk kekayaan yang dinyatakan dalam satuan mata uang.

d. Teori Keynes Tentang permintaan uang
Pada  teori  ini Keynes dalam Sukirno 2006  mengemukakan  sesuatu  yang  berbeda  dengan  teori  permintaan uang  tradisi klasik.  Perbedaan  tersebut  terletak  padapenekanan  oleh  Keynes  pada  fungsi  uang yang lain yaitu sebagai penyimpan kekayaan (store  of  value)  dan  bukan  hanya  sebagai alat  transaksi  saja  (means of Exchange)  saja.

Dalam teorinya tentang permintaan akan uang kas, membedakan antara motif transaksi (dan berjaga – jaga) serta spekulasi. Jadi dia juga mengakui adanya motif transaksi, hanya saja yang lebih penting (dalam arti pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi) adalah motif spekulasi.

-Permintaan Uang Untuk Tujuan Transaksi dan Berjaga – jaga
Di dalam perekonomian modern dimana tingkat spesialisasinya tinggi, uang sangat penting untuk melancarkan kegiatan ekonomi dan transaksi atau jual beli. Tingkat spesialisasi yang tinggi hanya mungkin wujud apabila pertukaran dilakukan dengan menggunakan uang karena dengan ini pemilik uang dapat dengan mudah menggunakannya untuk membeli barang-barang yang mereka perlukan.

Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi ini tergantung dari pendapatan yang di peroleh masyarakat. semakin tinggi pendapatan, semakin besar keinginan akan uang kas untuk transaksi. Seseorang atau masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak di banding seseorang atau masyarakat yang pendapatannya lebih rendah. Pendudukyang tinggal dikota besar cenderung melakukan transaksi yang lebih besar dari penduduk yang tinggal di kota kecil (atau pedesaan).

Disamping untuk membiayai transaksi, uang di minta pula oleh masyarakat untuk menghadapi keadaan kesusahan atau masalah penting lain dimasa depan. Uang yang disisihkan untuk tujuan ini dinamakan “permintaan uang untuk berjaga – jaga”, untuk menghadapi kesusahan- kesusahan seperti apabila ada anggota keluarga yang sakit, dan kehilangan pekerjaan dan kehilangan kemampuan untuk bekerja. Disamping itu uang digunakan pula untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga yang lebih baik.
Seperti telah dibahas di atas, permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga ditentukan oleh pendapatan masyarakat atau pendapatan nasional. Sifat hubungan inilah yang ditunjukan dalam gambar tersebut. Sumbu datar menunjukkan jumlah uang yang diminta dan sumbu tegak menunjukkan pendapatan nasional. Kurva Mtp bergerak dari bawah-kiri ke atas-kanan dan bermula dari titik origin. Kurva seperti ini berarti, semakin tinggi pendapatan nasional, semakin tinggi permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga. Ketika pendapatan nasional Ya,permintaan uang adalah Ma dan ketika pendapatan nasional Yb, permintaan uang adalah Mb.

-Permintaan uang untuk Spekulasi
Dalam ekonomi modern, dimana institusi keuangan sudah berkembang dengan begitu pesatnya. dalam kenyataan ,masyarakat juga sudah  menggunakan  uangnya untuk tujuan spekulasi. Yaitu, disimpanatau digunakan untuk membeli surat-surat berharga. Seperti, obligasi pemerintah, saham perusahaan dan “treasury bill”. Dalam menggunakan uang untuk tujuan spekulasi ini, suku bunga atau devidenyang di peroleh dari memiliki surat-surat berharga tersebut sangat penting dalam menentukan besarnya jumlah permintaan uang. Apabila suku bunga atau deviden surat-surat berharga itu tinggi, masyarakat akan menggunakan uang untuk membeli surat-surat berharga tersebut. Akan tetapi, apabila suku bunga dan tingkat pengembalian modal rendah, mereka akan lebih suka menyimpan uangnya daripada membeli surat-surat berharga.


Pada Gambar 4. sumbu datar menunjukkan jumlah uang yang digunakan untuk tujuan spekulasi, dan sumbu tegak menunjukan suku bunga. Pada suku bunga sebesar r0, jumlah uang yang diminta adalah M0, dan pada suku bunga sebesar r1, jumlah yang diminta adalah M1. Maka kurva Msp kurva permintaanuang untuk spekulasi dengan ciri-ciri : “semakin rendah suku bunga, semakin banyak permintaan uang untuk tujuan spekulasi”.

Berdasarkan  pada  penjelasan  diatas, permintaan  uang  total  menurut  Keynes adalah sebagai berikut:
                              (M/P)d = f(Y) + k(r)

Artinya : permintaan  uang riil  tergantung  pada tingkat  pendapatan (Y)  yaitu untuk transaksi dan  berjaga-jaga  dan  tergantung  pada  tingkat bunga (r) untuk tujuan spekulasi.

e. Purchasing Power Parity (PPP)
Teori ini dikemukakan oleh ahli ekonomi dari swedia, bernama Gustav Bassel. Dasar teorinya bahwa, perbandingan nilai satu mata uang dengan mata uang lain ditentukan oleh tenaga beli uang tersebut (terhadap barang dan jasa) di  masing-masing  negara.

Teori   Purchasing  Power  Parity  menyatakan bahwa nilai tukar mata uang di antara dua negara sama dengan rasio dari tingkat harga di negara tersebut. Dalam hal ini yang perlu diingat juga adalah bahwa domestic purchasing power parity  dari mata uang suatu negara direfleksikan oleh tingkat harga, harga dari sekelompok barang dan jasa.

Teori  Purchasing Power Parity  oleh karenanya memprediksikan bahwa penurunan dalam domestic purchasing power dari mata uang (yang di indikasikan oleh  tingkat  harga  domestik)  yang  akan  berhubungan  dengan  apresiasi mata uang secara proporsional. Pada pokoknya ada dua versi teori  purchasing power parity,  yakni  interpertasi  absolut  dan  relatif.  Menurut  interpretasi  absolut purchasing power parity, perbandingan nilai satu mata uang dengan mata  uang lain (kurs) ditentukan oleh tingkat harga di masing -masing negara. Sehingga kurs didasarkan  pada  perbandingan  purchasing  powernya. 

Sedangkan  menurut interpretasi relatif  purchasing power parity  mengatakan bahwa kurs power parity didasarkan pada perubahan harga. (Nopirin ;182 :2011)

f. Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam  melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.  

Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu.  Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.  Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah informasi yang dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan.  Jika proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki.  Misalnya jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan pengetatan moneter.  


Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi inflasi dan outlook ke depan serta keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi sesuai dengan sasarannya.

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004  pasal 7 tentang Bank Indonesia.

Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil.  Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.  Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter.  Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.  Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi.  Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat.  Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi.  Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah. 

Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.    


Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar.  Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar.  Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri.  Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat  pengembalian yang lebih tinggi.  Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor.  Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset.  Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.  


Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi).  Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi.  Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag).  Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain.  Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat.  Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter.   


Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat.  Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu.  Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi  sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.

Sumber Refrensi:

-Sukirno,  Sadono. “Makroekonomi Teori PengantarEdisi  3”. Rajawali Pers. Jakarta, 2006.
-Nasution, Mulia. “Ekonomi Moneter Uang dan Bank”. PENERBIT DJAMBATAN. Jakarta, 1998.
-Nopirin, Ph.D. “Ekonomi Moneter Buku 1”. BPFE UGM. Yogyakarta, 1997.
-Nopirin, Ph.D. “Ekonomi Moneter”  Buku 2. BPFE UGM. Yogyakarta,2011.


0 Response to "Teori Permintaan Uang Menurut Para Ahli "

Posting Komentar