Dulu, mungkin juga sekarang banyak yang mengeluarkan stigma bahwa hidup didesa itu enak dan damai. masyarakatnya ayem, gotong royong, persatuannya kuat, sopan santun dan beretika. sebab katanya budaya sopan dan santun dari jaman leluhur dulu masih terjaga.tidak salah memang, namun juga tidak sepenuhnya benar. kenapa, saya sendiri juga bingung. pernah tinggal di kota selama mungkin ada 10 tahun lebih, di desa juga pernah dulu waktu kecil dan sekarang kembali lagi kedesa setelah menyelesaikan pendidikan dan menikah.
Banyak hal yang kemudian mau tidak mau dengan sendirinya menimbulkan gejolak dalam diri saya. antara hidup didesa dan dikota. mungkin karena sudah pernah mencicipi hidup di kota saya jadi terbiasa dengan budaya di kota yang menurut saya lebih asik.
Terlepas dari segala kontroversi masing-masing pihak masyarakat desa dan kota namun fakta yang jelas dan harus diakui adalah bahwa "PADA KENYATAANNYA HIDUP DIDESA ITU LEBIH SULIT DAN BANYAK DIPERSULIT". pengalaman dan pendidikan yang minim membuat masyarakat desa menjadi sulit dan kadang sering kali dipersulit oleh keadaan. serba takut bertindak namun juga menyulitkan untuk di tindak.
Minimnya pengalaman membuat kebanyakan masyarakat menjadi minim pemikiran dan gaya hidup. namun, terkadang cara sok tahu segalanya menjadikan sulit untuk diajak menuju perubahan.
Sulit, ekonomi perkembangannya sangat lambat karena hanya berpusat pada pertanian sebagai mata pencaharian utama. fasilitas publik yang minim menjadikan kendala untuk memperbaiki taraf hidup. jalanan masih sangat buruk, bila musim penghujan tiba maka sudahlah seperti lewat diatas lahan sawah siap tanam. premanisme yang masih banyak mengusai, oknum birokrasi pemerintah desa yang sering kali dirasa tidak bersahabat pada wong cilik, hal ini dirasa sering menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat desa.
Baru-baru ini masih sangat baru bahkan, kejadian menyedihkan saya dengar. jika mau ditampilkan menjadi cerita yang lebih apik dan menyayat hati maka judul yang pas dari kisah ini adalah ;
Jeritan Hati Seorang Sopir
Musim panen padi di periode kedua pada tahun 2021 baru saja dimulai, didesa Gunung Terang kec. Madang Suku I dan sekitarnya. adalah hal yang lumrah dan sangat wajar bahkan biasa saja jika jalanan di desa atau hendak menuju desa rusak bahkan tidak bisa di akses oleh kendaraan roda empat. sebab kategori rusak yang tidak bisa di toleransi lagi. wajar saja jalanan yang sering terjadi kerusakan parah bila sering digur hujan. jalanan poros di desa atau hendak menuju desa kami adalah hamparan tanah tak berbatu dan tak beraspal.
Sudah sejak saya kecil, atau bahkan setalah saya kekota untuk sekolah dan selesai kemudian pulang ;agi di desa ini kondisinya masih sama. penduduk semakin padat jalanan semakin remuk tak berdaya di gusur dan terlindas oleh hasrat kemoderenan jaman. kenapa demikian saya katakan, sebab jika dulu saya masih kecil bisa dibilang rusak dan berlobang itu sudah bisa, namun tidak terlalu sampai tak dapat diakses karena jalan hanya di lewati oleh rpda dua, motor dan sepedah saja.
Seiring kemajuan jaman yang tidak dibendung lagi, kemudian masuklah kendaraan roda empat baik pribadi ataupun pickup. seharusnya ini menjadi cerminan peningkatan ekonomi yang baik dan bagus. namun sayangnya saya katakan ini justru menjadi kemerosotan ekonomi, birokrasi dan juga perlambatan ekonomi.
Sebab, jalan yang seharusnya sebagai penopang utama lajunya pertumbuhan perdagangan dan lalulintas utama untuk pegerakan ekonomi malah menjadi penghambat terbesar. aneh dan unik lagi nyeleneh, dan adalah kesepakatan yang miris di setujui sebab keterpaksaan. suatu ketika ada sebaran edaran undangan resmi dari kantor kepala desa. fisarat buruk sudah mulai tercermin di pikiran, biasanya kalau sudah ada edaran begini pasti soal dana. tidak salah, dan ternyata adalah benar saja. "bagi siapa saja yang menerima undangan yang berarti adalah orang-orang yang memiliki kendaraan pickup diminta untuk iuran RP. 200.000,- saja. yang digunakan untuk meratakan jalan poros yang rusak parah. kaget sekaligus miris, pemilik kendaraan bukan mudah dan gampang, membayar pajak, membayar kir belum lagi preman jalanan yang sering tak bersahabat. apa, apagunanya pajak yang dibayarkan itu? jika kerusakan jalan masih juga harus mengelurkan dana?
Padahal, kami sedikit paham bahwa jalan poros didesa kami itu harusnya menjadi tanggungan PU, tapi kenapa masih juga kami orang-orang kecil yang diudes-udes seolah-olah bersalah sehingga harus menanggung beban kerusakan jalan. bukanya kami yang seharusnya dilindungi, di sejahterakan dan dimakmurkan?
Ada apa? kalau sudah begini siapa yang harus disalahkan dan kami mintai pertolongan? kemana kami harus mengadu? kapan jalan kami bagus? kami tidak minta bantuan baiki saja jalan kami itu sudah cukup menggembirakan buat kami....
0 Response to "Derita Masyarakat Desa, Sudah Susah Ditambahin Susahnya"
Posting Komentar